Buat ukuran gue, menghabiskan waktu tanpa buku dan/atau internet itu merupakan hal yang bisa dibilang tidak lazim, tapi berhubung beberapa waktu kemaren itu memang sedang tenggelam dalam kegiatan kristik, jadi memang buku dan/atau internet sempet terlupakan. Maklum, kristik, baca buku, dan online adalah kegiatan yang tidak cukup dilakukan hanya 1 jam atau 2 jam. At least menurut perhitungan gue sih seperti itu.
Setelah sempat mengalami sedikit kejenuhan dengan kristik, 2 hari terakhir ini gue menghabiskan waktu dengan kembali membaca buku lama. Setelah puas dengan dua buku, tiba-tiba teringat akan satu buku yang gue beli secara 'impulsif' di Periplus Plaza Indonesia kemaren itu. Judulnya Beastly, by Alex Flinn.
As always, udah cukup lama liat ini covernya, termasuk di Amazon.com, tapi tidak tertarik baca karena sudah bisa ditebak, ceritanya tentang Beauty & The Beast. Another version of Beauty and the Beast. Dan jujur gue agak ragu. Tapi kemaren di Periplus menjadi tertarik karena, selain tidak ada buku lain, ada tulisan di covernya "now a major motion picture. READ IT before you SEE IT!" Tulisan begitu biasanya cukup ampuh buat gue. Kecuali untuk buku yang emang jelas-jelas enggak bakal gue baca, seperti Atonement atau My Sister's Keeper.
Beli hari Rabu, the day I saw Alice in Wonderland, baru gue baca hari Minggu kemaren, Minggu malam, sampe nyaris jam setengah 5 pagi, dan langsung gue selesaiin tadi pagi around 9, mungkin, dan sekarang gue nulis reviewnya :)
Oh, harus gue akui, andai gue tidak sengaja melihat trailer-nya di apple.com, mungkin gue tidak tertarik untuk baca ini novel. Klik ini "Beastly" untuk liat trailer-nya di apple.com.
So...seperti yang udah ditebak, Beastly merupakan retelling of The Beauty and the Beast.
I am a beast.
A beast. Not quite wolf or bear, gorilla or dog but a horrible new creature who walks upright—a creature with fangs and claws and hair springing from every pore. I am a monster.
You think I'm talking fairy tales? No way. The place is New York City. The time is now. It's no deformity, no disease. And I'll stay this way forever—ruined—unless I can break the spell.
Yes, the spell, the one the witch in my English class cast on me. Why did she turn me into a beast who hides by day and prowls by night? I'll tell you. I'll tell you how I used to be Kyle Kingsbury, the guy you wished you were, with money, perfect looks, and the perfect life. And then, I'll tell you how I became perfectly . . . beastly.
Jika biasanya cerita Beauty and the Beast lebih banyak menyoroti 'kesialan' Beauty, tentang bagaimana ia akhirnya bisa berada di tempat the Beast, maka Beastly lebih menyoroti the Beast, tentang bagaimana ia bisa menjadi the Beast, bagaimana ia 'menyesuaikan diri', tentang bagaimana akhirnya ia belajar dari situasi yang ia alami, dan tentang bagaimana akhirnya dia bisa menerima dirinya, situasinya, lingkungannya, dan kemudian jatuh cinta pada Beauty.
Enggak perlu dibilang, semua juga udah bisa nebak kalo ceritanya pasti happy end. Dan ceritanyapun juga sederhana, tanpa terlalu banyak twist. Secara grafik, ceritanya memang jadi terkesan datar. Tidak ada situasi yang bener-bener bikin deg-deg-an, atau situasi yang bikin down, atau situasi yang bikin bener-bener happy. Yang ada 'cuma' beberapa percikan kecil-kecil, tapi toh meskipun kecil, percikan-percikan itu ada dan terasa. Cukup lah untuk membuat gue ikutan keki dengan sosok Kyle Kingsbury, atau ikutan nyengir begitu Kyle berhasil bicara pada 'Beauty', dan lega/seneng/sedih ketika akhirnya Kyle memutuskan untuk melepaskan 'Beauty'.
Yang membuat gue menilai bahwa ini buku bagus adalah, cerita ini mengalir dengan mudah. Ditambah lagi, buku ini diawali dengan group chatting of Unexpected Changes, and guess who joined in that group? You have a mermaid who longed to be a human (SilentMaid), a prince who turned into a frog (Froggie), A man who turned into a bear (Grizzlyguy), and our own Beast (BeastNYC).
Chatting mereka begitu membuat gue kaget dan tertawa karena lucu. Paling lucu Froggie, karena dia ngetiknya disingkat-singkat karena buat dia susah ngetik dengan "webbed feet" as he put it. Apalagi kemudian dia bilang hal tersusah menjadi kodok adalah karena soal makan lalat, karena dia enggak suka lalat. Hahahaha...that part of the story is funny!
Selain itu, bagian ketika 'Beauty' akhirnya masuk kedalam kehidupan the Beasty yang membuat gue juga suka. I didn't see it coming. Tapi ketika akhirnya terjadi, well..gue sedikit kaget dan langsung teringat akan film Disney (satu-satunya referensi Beauty and the Beast yang gue punya cuma dari Disney), dan baru ngeh kalo buku yang gue baca ini adalah cerita versi lain Beauty and the Beast, jadi pasti si 'Beauty' lambat laun akan muncul. Gue cuma enggak nyangka kalo "cara masuknya" seperti itu. I kinda like it.
Di satu sisi, setelah gue pikir-pikir, gue agak kurang puas dengan hubungan antara 'Beauty' dan the Beast di buku ini. Menurut gue terlalu singkat. Well...enggak pendek-pendek amat sih, tapi rasanya kurang dalam, penggambaran hubungan mereka kurang 'lama' (?).
Hal lainnya adalah tidak adanya situasi konflik yang membuat pembaca (dalam hal ini gue) menjadi tegang. Sekali lagi, yang ada cuma percikan sedikit.
Dan, mungkin, along the way, cukup ada beberapa pertanyaan-pertanyaan, keanehan, kejanggalan, yang ditemukan (gue sih enggak menemukan, but you know me...anything is possible in my opinion, no matter how imposibble they were).
Tapi, meskipun begitu, ini buku tetap enak dibaca, terutama buat pecinta kisah Beauty and the Beast, dan penggemar cerita YA romance. Yang pasti, gue sih enggak nyesel beli ini buku dan ceritanya membuat gue tertarik, sampe pingin langsung baca sampai selesai. Karena akhirnya Kyle akhirnya learned his lessons, berubah kembali menjadi dirinya sendiri, he gets 'Beauty' to be his girl, and everyone live happily ever after :)
A beast. Not quite wolf or bear, gorilla or dog but a horrible new creature who walks upright—a creature with fangs and claws and hair springing from every pore. I am a monster.
You think I'm talking fairy tales? No way. The place is New York City. The time is now. It's no deformity, no disease. And I'll stay this way forever—ruined—unless I can break the spell.
Yes, the spell, the one the witch in my English class cast on me. Why did she turn me into a beast who hides by day and prowls by night? I'll tell you. I'll tell you how I used to be Kyle Kingsbury, the guy you wished you were, with money, perfect looks, and the perfect life. And then, I'll tell you how I became perfectly . . . beastly.
Jika biasanya cerita Beauty and the Beast lebih banyak menyoroti 'kesialan' Beauty, tentang bagaimana ia akhirnya bisa berada di tempat the Beast, maka Beastly lebih menyoroti the Beast, tentang bagaimana ia bisa menjadi the Beast, bagaimana ia 'menyesuaikan diri', tentang bagaimana akhirnya ia belajar dari situasi yang ia alami, dan tentang bagaimana akhirnya dia bisa menerima dirinya, situasinya, lingkungannya, dan kemudian jatuh cinta pada Beauty.
Enggak perlu dibilang, semua juga udah bisa nebak kalo ceritanya pasti happy end. Dan ceritanyapun juga sederhana, tanpa terlalu banyak twist. Secara grafik, ceritanya memang jadi terkesan datar. Tidak ada situasi yang bener-bener bikin deg-deg-an, atau situasi yang bikin down, atau situasi yang bikin bener-bener happy. Yang ada 'cuma' beberapa percikan kecil-kecil, tapi toh meskipun kecil, percikan-percikan itu ada dan terasa. Cukup lah untuk membuat gue ikutan keki dengan sosok Kyle Kingsbury, atau ikutan nyengir begitu Kyle berhasil bicara pada 'Beauty', dan lega/seneng/sedih ketika akhirnya Kyle memutuskan untuk melepaskan 'Beauty'.
Yang membuat gue menilai bahwa ini buku bagus adalah, cerita ini mengalir dengan mudah. Ditambah lagi, buku ini diawali dengan group chatting of Unexpected Changes, and guess who joined in that group? You have a mermaid who longed to be a human (SilentMaid), a prince who turned into a frog (Froggie), A man who turned into a bear (Grizzlyguy), and our own Beast (BeastNYC).
Chatting mereka begitu membuat gue kaget dan tertawa karena lucu. Paling lucu Froggie, karena dia ngetiknya disingkat-singkat karena buat dia susah ngetik dengan "webbed feet" as he put it. Apalagi kemudian dia bilang hal tersusah menjadi kodok adalah karena soal makan lalat, karena dia enggak suka lalat. Hahahaha...that part of the story is funny!
Selain itu, bagian ketika 'Beauty' akhirnya masuk kedalam kehidupan the Beasty yang membuat gue juga suka. I didn't see it coming. Tapi ketika akhirnya terjadi, well..gue sedikit kaget dan langsung teringat akan film Disney (satu-satunya referensi Beauty and the Beast yang gue punya cuma dari Disney), dan baru ngeh kalo buku yang gue baca ini adalah cerita versi lain Beauty and the Beast, jadi pasti si 'Beauty' lambat laun akan muncul. Gue cuma enggak nyangka kalo "cara masuknya" seperti itu. I kinda like it.
Di satu sisi, setelah gue pikir-pikir, gue agak kurang puas dengan hubungan antara 'Beauty' dan the Beast di buku ini. Menurut gue terlalu singkat. Well...enggak pendek-pendek amat sih, tapi rasanya kurang dalam, penggambaran hubungan mereka kurang 'lama' (?).
Hal lainnya adalah tidak adanya situasi konflik yang membuat pembaca (dalam hal ini gue) menjadi tegang. Sekali lagi, yang ada cuma percikan sedikit.
Dan, mungkin, along the way, cukup ada beberapa pertanyaan-pertanyaan, keanehan, kejanggalan, yang ditemukan (gue sih enggak menemukan, but you know me...anything is possible in my opinion, no matter how imposibble they were).
Tapi, meskipun begitu, ini buku tetap enak dibaca, terutama buat pecinta kisah Beauty and the Beast, dan penggemar cerita YA romance. Yang pasti, gue sih enggak nyesel beli ini buku dan ceritanya membuat gue tertarik, sampe pingin langsung baca sampai selesai. Karena akhirnya Kyle akhirnya learned his lessons, berubah kembali menjadi dirinya sendiri, he gets 'Beauty' to be his girl, and everyone live happily ever after :)